Dendam Tak Ada Gunanya, tapi Cinta Juga Bukan Penawarnya (Komentar kedua tentang film In the Mood for Love)

10/03/2016 10:40:00 PM

Dendam tak ada gunanya, tapi cinta juga bukan penawarnya. 


Saat masih kuliah, saya pernah menulis opini tentang film In the Mood for Love yang dirilis tahun 2000 karya Wong Kar-Wai. Dengan segala keterbatasan saya saat itu, saya mencoba berkomentar tentang film karya salah satu sutradara favorit saya ini. Walaupun sekarang pengetahuan saya masih belum luas-luas amat, saya coba untuk menulis komentar lanjutan atau mungkin bisa disebut komentar ulang atas komentar terdahulu.

 ****
Hong Kong, 1962. Nyonya Chan dan Tuan Chow sedang sibuk menyiapkan diri untuk segera tinggal di kediaman baru. Setelah bertanya pada induk semang, Nyonya Chan dan suaminya mendapat sebuah kamar sewaan dan Tuan Chow beserta istrinya menyewa kamar yang berdekatan dengan pasangan suami-istri Chan.

Tidak saling mengenal. Itulah awal dari hubungan Tuan Chow dan Nyonya Chan, tapi karena hidup bertetangga, Tuan Chow dan Nyonya Chan mulai berkomunikasi. Mereka pun sesekali bertemu saat Tuan Chow dan Nyonya Chan singgah di kedai mie untuk makan malam. Maklum, pasangan mereka masing-masing terkesan bagai hantu. Hidup memang berdampingan, tapi kehadiran mereka bagai antara ada dan tiada. Suami Nyonya Chan sering pergi ke luar negeri untuk perjalanan bisnis. Wujud-wujud kehadiran suaminya terendap dalam oleh-oleh yang diberikan kepada Nyonya Chan. Istri Tuan Chow pun pulang larut, karena sering mendapat giliran kerja malam. Jadi, rasanya tak ada keharusan bagi Tuan Chow dan Nyonya Chan untuk menyiapkan makan malam sendiri.

In The Mood For Love Still. DOP Christopher Doyle. (Cinematography, Lighting, Film)

Kesan "hantu" yang saya rasakan ini terus berlanjut sepanjang film, karena sosok pasangan Tuan Chow dan Nyonya Chan tak pernah jelas ditampilkan. Kita hanya sesekali mendengar percakapan mereka atau melihat punggung mereka. Kecurigaan mulai muncul ketika Nyonya Chan dan Tuan Chow menyadari bahwa beberapa barang mereka sama persis dengan milik pasangan masing-masing. Dasi Tuan Chow yang diberikan istrinya sama dengan dasi milik suami Nyonya Chan. Tak hanya itu. Tas Nyonya Chan, hadiah dari Sang Suami, sama dengan tas milik istri Tuan Chow. Bukti mengarah pada kecurigaan bahwa pasangan mereka berselingkuh.

Siapa yang menggoda lebih dulu? Bagaimana jika perselingkuhan dibalas dengan perselingkuhan? Tuan Chow dan Nyonya Chan mulai memainkan drama mereka sendiri. Bermain peran layaknya pasangan masing-masing, mereka menelusuri bagaimana perselingkuhan itu dimulai.

Namun, jangan tanya siapa yang menggoda lebih dulu, karena rasa bisa muncul begitu saja, kapan saja. Asmara mulai mengalir di antara Tuan Chow dan Nyonya Chan, tapi bukankah itu berarti keduanya sama berkhianatnya dengan pasangan mereka?

"Feelings can creep up just like that" - In the Mood for Love, Kar Wai Wong (2000)Bagi saya menarik untuk menikmati In the Mood for Love lebih dari sekali. Saya tertarik dengan ruang dalam bingkai-bingkai yang disajikan dalam film ini. Jarak fisik antartokoh dan antarruang yang hampir semuanya terlihat sempit, tidak begitu saja membuat jarak psikis antartokohnya menjadi dekat. Keberadaan orang yang dicintai nyata di depan mata, tapi rasa cinta itu tak dapat digenggam. Ditambah warna-warni lighting yang selalu mengalirkan banyak emosi dan melodi klasik Quizás Quizás Quizás juga Bengawan Solo, membujuk saya untuk coba menonton lagi.


Pada akhirnya, perpisahan adalah jawaban dari cinta di antara Tuan Chow dan Nyonya Chan. Dendam tak ada gunanya, tapi cinta juga bukan penawarnya. Seperti kata Tuan Chow, "Zaman dahulu, jika seseorang punya rahasia yang tak ingin didengar orang lain, orang itu akan naik ke gunung dan mencari sebuah pohon. Ia akan lubangi pohon itu, membisikkan rahasianya di lubang itu, dan menutupinya dengan lumpur. Rahasia itu akan tersimpan selamanya di sana".

No comments:

Zulfasari. Powered by Blogger.