Dapur Itu Masih Menyala dan Rasa Itu Masih Ada (Komentar tentang film Eat, Drink, Man, Woman)
Saat hampir semua ruang kosong dan sunyi, ternyata dapur itu masih menyala dan rasa itu masih ada
(Sebuah komentar tentang Eat, Drink, Man, Woman, film karya Ang Lee, dirilis tahun 1994)
Banyak hal menarik yang bisa disimak dari film karya Ang Lee
ini, tapi izinkan saya untuk berfokus pada hubungan putri kedua, Jia-Chien dengan Sang Ayah. Berparas mirip dengan ibunya, Jia-Chien mewarisi bakat memasak dari
Sang Ayah. Namun, dapur rumahnya yang awalnya seperti taman bermain baginya
menjadi tempat yang seakan terlarang, karena ayahnya tak setuju jika Jia-Chien
ingin menjadi juru masak. Konflik memang terlihat. Walaupun pada akhirnya Sang Ayah mengumumkan bahwa beliau akan menikah lagi dengan wanita yang usianya jauh lebih muda dan Jia-Chien tampak sedih awalnya, rasanya, bagi saya putri kedua inilah yang punya ikatan batin paling kuat dengan Sang Ayah.
Saat kedua putri yang lain pergi, rumah mereka dijual, bahkan Sang Ayah telah tinggal di rumah baru bersama keluarga barunya, Jia-Chien yang tetap singgah ke rumah lama ini dan akhirnya memiliki kesempatan untuk memasak di dapur. Jia-Chien yang akhirnya menyajikan sup hasil tangannya sendiri pada Sang Ayah saat dirinya mampir ke rumah lama untuk tetap mengenang "Ritual Makan Malam Hari Minggu".
Entah karena akhirnya bisa menemukan gairahnya atau memenuhi kebutuhan dasar manusiawinya kembali, atau karena masakan Jia-Chien punya kekuatan tersendiri, indra pengecap Chu akhirnya bisa merasa lagi. Saat semua orang pergi dan hampir setiap ruang telah kosong, dapur itu masih menyala. Dapur dan meja makan itu masih mengingatkan bahwa mereka adalah keluarga. Eat, Drink, Man, Woman bukan hanya tentang keluarga, namun juga tentang mencari arti kebahagiaan dan mencari arti tentang kebutuhan dasar kita sebagai manusia.
(Sebuah komentar tentang Eat, Drink, Man, Woman, film karya Ang Lee, dirilis tahun 1994)
Alunan musik tradisional mengalun mengiringi tiap kegiatan di dapur yang tampak bak laboratorium. Kedua tangan itu menari, meracik dengan lihainya semua bahan yang ada, mulai dari daging, rempah, hingga sayur mayur. Warna-warni bahan berbaur bersama berbagai macam alat masak yang langsung membuat saya takjub. Begitu lengkap, hingga rasanya bagai melihat katalog yang biasa saya temukan di toko-toko perlengkapan rumah tangga. Pria paruh baya bermarga Chu itu tampaknya sedang sibuk menyiapkan semua kelengkapan untuk "ritual" keluarga yang biasa disebut "Makan Malam Hari Minggu" oleh ketiga putrinya.
Mari mulai dari putri pertama, Jia-Jen. Sebagai guru Kimia di sebuah sekolah menengah atas, kedamaian dan kebahagiaan adalah saat dirinya merasa sedekat mungkin dengan Tuhan. Begitu khusyuk dirinya mendengar alunan musik rohani dari walkman yang tampaknya jarang lepas dari genggamannya kapanpun dia memiliki waktu luang. Namun, apa daya. Di balik kedamaian, ada tersimpan sakit hati yang belum sembuh akibat cinta masa lalu. Lain putri tertua, lain pula dengan yang kedua. Jia-Chien adalah wanita karir yang bekerja di sebuah perusahaan penerbangan. Berada di puncak karirnya, ternyata Jia-Chien lebih memilih hubungan mesra-tanpa-ikatan-pernikahan dengan Sang Mantan Suami. Rasanya warna-warni ini belum lengkap tanpa kehadiran putri ketiga, Jia-Ning. Bekerja paruh waktu di restoran cepat saji, Jia-Ning rutin menghampiri pria yang menyukai teman sekerjanya. Kebetulan pria itu rutin menunggu Sang Pujaan Hati di depan restoran.
Semua kelengkapan "Makan Malam Hari Minggu" telah siap. Ketiga putri telah hadir dan meja makan bundar itu bersinar meriah. Empat orang yang hadir kala itu rasanya tak cukup menghabiskan kemeriahan masakan yang tersaji. "Itu semua tidak hanya makanan, tapi karya seni!", pikir saya. Tunggu dulu! Persiapannya boleh seharian, tapi mencicipinya tak sampai lima menit! Makan malam akhirnya jadi ajang lempar pengumuman. Belum lagi, Sang Ayah harus segera melaksanakan "tugas operasi" di dapur lain di sebuah restoran yang sedang heboh menyiapkan makan malam untuk para tamu penting.
Itu semua baru bagian pertama dari film yang penuh warna-warni ini.
"Eat, drink, man, woman. Basic human desires. Can't avoid them. All my life, every day, that's all I've ever done." Benar adanya. Cuplikan dialog tersebut memang mencerminkan apa yang saya lihat di sepanjang film yang berdurasi kurang lebih 2 jam ini. Konflik terus berkutat seputar masalah cinta yang dialami ketiga putri dan Sang Ayah yang diimbangi dengan "Ritual Makan Malam Hari Minggu" yang tak pernah putus. Mulai dari drama cinta Jia-Jen dan seorang guru olahraga di sekolah tempatnya mengajar, Jia-Chien yang berada di antara hubungan asmara unik dengan Sang Mantan Suami dan hubungan asmara baru dengan teman kerjanya. Belum lagi, masalahnya yang tertipu soal investasi apartemen di wilayah Taipei. Sampai akhirnya jalinan asmara Si Bungsu, Jia-Ning dengan lelaki yang sebenarnya dicintai mati-matian oleh rekan kerja Jia-Ning.
Itu semua baru bagian pertama dari film yang penuh warna-warni ini.
"Eat, drink, man, woman. Basic human desires. Can't avoid them. All my life, every day, that's all I've ever done." Benar adanya. Cuplikan dialog tersebut memang mencerminkan apa yang saya lihat di sepanjang film yang berdurasi kurang lebih 2 jam ini. Konflik terus berkutat seputar masalah cinta yang dialami ketiga putri dan Sang Ayah yang diimbangi dengan "Ritual Makan Malam Hari Minggu" yang tak pernah putus. Mulai dari drama cinta Jia-Jen dan seorang guru olahraga di sekolah tempatnya mengajar, Jia-Chien yang berada di antara hubungan asmara unik dengan Sang Mantan Suami dan hubungan asmara baru dengan teman kerjanya. Belum lagi, masalahnya yang tertipu soal investasi apartemen di wilayah Taipei. Sampai akhirnya jalinan asmara Si Bungsu, Jia-Ning dengan lelaki yang sebenarnya dicintai mati-matian oleh rekan kerja Jia-Ning.
Sang Ayah juga punya masalah sendiri. Di balik indahnya hasil racikan kedua tangannya, ternyata kemampuan indra pengecapnya semakin melemah. Lama menduda, Chu juga punya keresahan sendiri akan cinta. Semua masalah ini terus berputar dan disadari atau tidak terbawa sampai ke meja makan. Kemewahan dan kehebatan makanan yang tersaji tidak pernah sempat dihabiskan.
Meja makan yang bagi saya bisa jadi perekat antaranggota keluarga, terlihat malah menjauhkan mereka. Satu per satu putri telah mendapatkan cinta dan menikah dengan pasangan mereka masing-masing, lalu akhirnya pergi meninggalkan rumah, menyisakan Chu dan Jia-Chien.
Saat kedua putri yang lain pergi, rumah mereka dijual, bahkan Sang Ayah telah tinggal di rumah baru bersama keluarga barunya, Jia-Chien yang tetap singgah ke rumah lama ini dan akhirnya memiliki kesempatan untuk memasak di dapur. Jia-Chien yang akhirnya menyajikan sup hasil tangannya sendiri pada Sang Ayah saat dirinya mampir ke rumah lama untuk tetap mengenang "Ritual Makan Malam Hari Minggu".
Entah karena akhirnya bisa menemukan gairahnya atau memenuhi kebutuhan dasar manusiawinya kembali, atau karena masakan Jia-Chien punya kekuatan tersendiri, indra pengecap Chu akhirnya bisa merasa lagi. Saat semua orang pergi dan hampir setiap ruang telah kosong, dapur itu masih menyala. Dapur dan meja makan itu masih mengingatkan bahwa mereka adalah keluarga. Eat, Drink, Man, Woman bukan hanya tentang keluarga, namun juga tentang mencari arti kebahagiaan dan mencari arti tentang kebutuhan dasar kita sebagai manusia.
No comments: