A Journey with My Father's Old Camera

2/28/2018 11:42:00 AM
Setelah lama meninggalkan blog, saya kembali. Saya baru tersadar ketika membuka blog bahwa terakhir kali menulis adalah dua tahun lalu. Entah apa yang membuat saya berhenti menulis. Mungkin, jawaban paling singkat adalah malas.

Menghilang dua tahun, ngapain aja?

Lumayan banyak, tapi selama setahun terakhir ini saya mencoba dua hobi baru; lari dan fotografi. Masing-masing dari dua hobi ini memiliki awal mula yang cukup menarik. Setelah sakit lebih dari sebulan, diri saya seakan mengingatkan bahwa harus ada yang diubah dari pola makan dan gaya hidup saya. Seperti penyesalan pada umumnya, setelah sakit, saya baru sadar betapa menyenangkannya rasa sehat itu. Selain pola makan yang harus teratur dan macam makanan yang harus saya perhatikan, olahraga adalah pelengkap untuk memulai pola hidup sehat. Lari akhirnya menjadi pilihan. Kenapa? Berlari termasuk olahraga murah. Cukup pakaian olahraga yang menurut Anda nyaman dan sepatu lari, Anda sudah bisa memulai olahraga satu ini. Ya... Memang ada sepatu lari harga jutaan, tapi masih ada kok, sepatu lari murah yang ciamik. 😄

Oke, soal lari, saya akan cerita lebih banyak di postingan selanjutnya.

Kembali ke judul, A Journey with My Father's Old Camera, cerita kali ini tentang perkenalan saya dengan dunia fotografi analog. Kalau dalam Bahasa Inggris, sebagian orang menyebutnya analogue photography, tapi ada juga yang memanggilnya film photography. Apa sih fotografi analog ini? Anak-anak yang tumbuh di era 90an ke atas pasti familiar dengan fotografi satu ini. Jelas, dua dekade lalu, kamera digital belum dikenal. Mengambil gambar belum secanggih saat ini, ketika berbagai macam kamera digital menyediakan ruang luar biasa besar untuk menyimpan ribuan gambar. Kamera digital juga memiliki layar penampil kristal cair (LCD screen) yang membantu penggunanya melihat subjek yang akan ditangkap juga melihat hasil jepretannya.

Kalau boleh, saya akan ibaratkan kamera analog sebagai kamera sederhana. Kenapa? Kamera analog tidak punya LCD screen dan masih menggunakan rol film.

Dulu, saya ingat kalau ayah dan ibu gemar menangkap momen acara keluarga atau acara sekolah saya dengan kamera analog kesayangan mereka. Saya masih ingat bagaimana orangtua saya memeriksa negatif film dan ketika saya menelusuri album foto masa kecil hasil jepretan si kamera lawas. Namun, memasuki masa SMA sekitar tahun 2006, kamera analog mulai tergantikan pamornya dengan kamera digital. Kamera satu ini menawarkan kemudahan dan kecepatan.

Seperti yang saya bilang sebelumnya, kamera analog menggunakan rol film. Nah... Rol film ini punya batas yang bervariasi. Ada yang 24 exposures, ada juga yang 36. Jumlah exposure menunjukkan berapa gambar yang bisa kita ambil. Sangat berbeda kan, dengan kamera digital yang bisa menangkap ribuan gambar? Belum lagi, rol film memiliki ISO yang bervariasi juga. Satu rol film punya satu jenis ISO (Soal ISO, monggo cek di Mbah Google). Juniornya, kamera digital, punya kemudahan. Kita bebas mengatur ISO yang kita mau dengan bantuan menu dan tombol. Belum lagi soal hasil jepretan. Kamera digital punya kecepatan. Hasil bisa langsung dilihat, bahkan dihapus kalau dirasa kurang sreg. Analog? Hmmm.. Kita harus melalui proses di "kamar gelap" untuk menghasilkan negatif film dan mencetak foto. Tidak bisa disangkal, proses untuk melihat foto jadi makan waktu dan belum tentu semua hasilnya sesuai keinginan. O ya, satu lagi. Tiap rol film punya tanggal kadaluarsa.

Rol film naik pamor lagi. Angka 100 dan 200 di film roll cartridge menandakan ISO. Rol film lainnya juga punya ISO berbeda-beda


Hola... Kami negatif! Kadang-kadang bisa dipanggil klise.

Setelah lama momen-momen keluarga saya diabadikan lewat kamera digital, tahun lalu saya tiba-tiba bertanya-tanya tentang kabar si kamera lawas setelah melihat unggahan salah satu influencer Indonesia di Instagram. Salah satu fotonya diambil menggunakan kamera analog. Agak terkejut juga waktu itu. Saya pikir, "Oh, masih ada toh orang yang pakai kamera ini? Memang masih ada yang jual rol film dan studio foto yang memproses negatif?" Dengan semangat kepo dan kecepatan jempol, saya menemukan komunitas fotografi analog, bahkan penjual rol film dan laboratorium untuk memprosesnya. Luar biasa! Ternyata tidak selamanya ya, kemudahan bisa buat orang langsung puas. Mungkin karena ingin mengenang kejayaan si kamera lawas, fotografi analog mulai naik pamor lagi.

Karena tiba-tiba teringat si kamera lawas, saya bongkar lemari Almarhum Ayah untuk mencari kamera itu masih ada atau nggak. Ternyata ada, bahkan tiga kamera! 😁😁 Dari tiga kamera, dua berfungsi. Yang satu kamera Fujifilm DL-1000, yang satu lagi Konica C35 EF. Kamera kedua yang paling lawas. Konica C35 EF mulai muncul sekitar tahun 1975 dan punya nama lain Pikkari. Katanya sih, kamera ini kesayangan Andy Warhol. 😮

Hai, aku Konica C35 EF! Bisa dipanggil juga Pikkari.

Aku masih kece, kan...?

Penampakan belakang nih...

Setelah cari-cari info tentang komunitas kamera analog dan penjual rol film di Instagram, akhirnya saya menemukan online shop yang menjual rol film lengkap dengan segala pernak-pernik analog lainnya dengan harga lumayan. Beli dua rol film lengkap dengan baterai untuk Fujifilm DL-1000, dua-duanya gagal total! Karena keteledoran saya, dua rol film ini tiba-tiba tergulung sendiri di tengah saya memotret. Kalau seluruh gulungan film masuk ke dalam cartridge, otomatis tidak bisa dipakai lagi. Ada sih, alat untuk menarik gulungan film kembali keluar. Namanya film picker, tapi sialnya saya, sudah ditarik pakai film picker, film tetap adem ayem di dalam cartridge. 😫

Oke, kalau memang jodoh, tidak akan ke mana. Konica C35 EF alias Pikkari jadi pilihan terakhir. Nah, setelah diberi "makan" baterai dan isi rol film, Pikkari siap "bertempur", walaupun ternyata flashnya sudah mati. Bedanya dia dengan kamera lawas sebelumnya adalah Pikkari masih pakai kokang. Apa itu kokang? Jadi, setelah kita ambil satu gambar, kita harus putar kokang di atas Pikkari supaya rol film di dalam kamera bergerak dan kita bisa ambil gambar berikutnya. (Sampai sini, kayaknya ribet-ribet asik ya, kamera analog itu? 😅) Fujifilm DL-1000 menggerakkan rol film dari satu frame ke frame lainnya secara otomatis, tapi kalau kita ceroboh atau kamera macet, salah-salah, rol film bisa tergulung dan masuk ke dalam cartridge. Karena kokang tergolong manual, kita bisa terhindar dari masalah ini.

Saya kadang ditanya, "Kamera jadul begitu apa masih berfungsi?" , "Wah! Kamera tahun berapa tuh? Masih bisa dipakai?" Untuk tahu kamera ini kamera ini masih berfungsi atau tidak, saya punya contoh hasilnya.

Baiklah, mari langsung lihat hasil jepretan saya bersama Pikkari dan rol film!


 




Beberapa contoh foto ini saya ambil di Jogja tahun 2017 bersama Pikkari dan rol film Hillvale Sunny 16. Menurut beberapa blog fotografi analog, lensa Hexanon Konica C35 EF bisa menghasilkan warna yang terkesan vintage. Bagaimana menurut kalian? Kebetulan, saat jalan-jalan ke Jogja, saya ditemani beberapa hari oleh cuaca mendung. Oke. Seperti yang saya bilang sebelumnya, tiap rol film punya ISO. Di sini saya pakai ISO 400.

Tunggu! Selain rol film warna, ada juga rol film hitam putih. Hasil jepretan saya memakai rol film hitam putih, kurang lebih seperti ini.






Kalau diminta memilih, saya lebih suka film hitam putih, karena ada nuansa yang menurut saya belum bisa dikalahkan digital. Menurut kalian sendiri, gimana? Untuk beberapa contoh foto hitam putih ini saya pakai rol film Bergger Pancro ISO 400. Lalu, di mana tempat/lab film untuk memproses rol film tadi? Tenang... Kalau kalian kulik-kulik di Instagram, ada beberapa lab terkenal, seperti kalau di Jakarta, ada Soup n' Film. Ada juga Hipercatlab dan Rawalab. Kalau kalian telusuri lagi, sebenarnya ada beberapa lainnya. Tentunya, harus sabar menunggu hasil foto, karena proses di lab bisa memakan waktu 7-14 hari. Negatif film nantinya dipindai melalui film scanner, sehingga kalian bisa langsung lihat hasilnya melalui komputer atau smartphone. (Analog rasa digital ya? 😁)
 
Aha! Coba kita bandingkan dengan kamera digital. Saya punya kamera saku digital yang ya.... Tidak buruk-buruk amat, walaupun belum secanggih kamera-kamera teranyar ataupun DSLR. 

Saya masih pakai kamera Canon Powershot A 2500 HD. Saya beli sekitar tahun 2014

 Ini beberapa contoh hasilnya









Foto-foto ini saya ambil ketika Tahun Baru Imlek 2569 di Wihara Dharma Bhari, Petak Sembilan, Jakarta. Syukurlah, selama hunting foto, saya didampingi cuaca cerah ceria. Ternyata warna yang dihasilkan rol film tidak kalah dengan digital. Warna-warna yang dihasilkan masih cukup tajam. Bahkan kalau diperhatikan lagi, ada nuansa warna yang tidak dihasilkan digital.

Saya pribadi setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa secanggih apapun sebuah kamera, orang yang berada di belakangnya tetap menjadi kunci sebuah gambar yang dihasilkan akan menarik atau biasa saja. Sampai sekarang saya masih belajar. Kalau ada yang bertanya, "Di kamera digital, saya pakai mode auto atau tidak? Jawabannya, tidak. Saya sedang belajar mengulik menu di kamera Canon saya, mulai dari cahaya sampai ISO. Kadang, kalau ada waktu dan lokasinya terjangkau, saya datang ke kumpul-kumpul penggemar fotografi atau lihat-lihat ke pameran foto untuk belajar dari yang ahli.

Berjalan menelusuri berbagai tempat bersama Pikkari membawa saya ke kenangan bersama Ayah dan saya seakan jalan-jalan bersama beliau. Semoga kalian juga suka dengan apa yang mata saya dan mata kamera tangkap.... 😊



P.S. Untuk tahu lebih banyak soal Pikkari, sudah banyak blog fotografi analog yang menjelaskan lengkap A-Z tentang kamera ini. Kalau mau tahu beberapa foto lain hasil kamera lawas ini, bisa cek laman Instagram saya di instagram.com/zulfa_in_35mm/


No comments:

Zulfasari. Powered by Blogger.