Panggung dan Renungan Di Atasnya
Hai, apa kabar?
Tampaknya debu sudah menempel lekat padamu, ya? Haha.. Maaf. Rasanya saya harus
menyapa dulu blog yang sudah lama tidak disinggahi ini.
Saya kembali
terdorong untuk menggerakkan jemari, karena secara sederhana saya ingin kembali
menyusun tiap karakter, huruf, untuk akhirnya disusun menjadi ungkapan rasa.
Ungkapan pengalaman. Atau.. mungkin saja saya tidak setulus itu. Bisa jadi saya
ingin dilihat dan ingin dipuji orang lain atas tulisan saya.
Oke. Mari
lanjutkan. Sebelum membuka blog yang hampir usang ini, saya baru selesai
menonton pementasan drama realis yang dibawakan secara apik dan mungkin
saya harus menambahkan lagi di sini, secara tulus oleh Teater Satu Lampung di
Komunitas Salihara, Pasar Minggu. Tulus disini, maksudnya, saya sebagai
penonton dan pribadi, merasakan lagi kerinduan akan permainan peran yang tidak
"terobsesi" oleh tepuk tangan dan sorotan cahaya pujian yang
memabukkan. Saya merasa mereka bermain atas dasar cinta pada kesenian. Lebih khusus
lagi, pada apa yang mereka kerjakan.
Malam ini
mereka membawakan naskah adaptasi "Maut dan Sang Perawan". Secara
garis besar, drama realis ini meyajikan kisah seorang perempuan bernama
Paulina, korban pemerkosaan di masa pasca kudeta militer. Memasuki zaman
demokrasi, Paulina masih menyimpan trauma berat dari tindak pemerkosaan yang
dialaminya. Trauma membuatnya dirundung ketakutan, rasa curiga terhadap tiap
orang di sekitarnya, dan bisa jadi, dendam. Bersama suaminya, Gery, yang
ditunjuk presiden menjadi pemimpin komisi penyelidikan atas kasus-kasus
kejahatan kemanusiaan, penonton diajak untuk menelusuri kesakitan-kesakitan
terdalam yang dialami Paulina. Di suatu malam, Gery pulang ke vila
peristirahatan mereka bersama seorang dokter bersama Robert Miranda. Hadirnya
dr. Miranda, membangkitkan lagi memori Paulina akan segala ketakutan dan
kesakitannya dari peristiwa pemerkosaan itu. Paulina yakin betul, walaupun pada
saat peristiwa pahit itu dia tidak melihat secara jelas wajah pemerkosanya, dia
yakin bahwa dokter inilah yang merenggut keperawanannya.
Sayangnya,
Paulina tidak punya bukti kuat untuk menyeret dr. Miranda ke pengadilan. Dalam
keadaan depresi, Paulina mendesak dirinya sendiri dan Gery untuk menghukum pria
itu atas tindakan bejatnya. Pertanyaan besarnya tentu saja, berhasilkah Paulina
membuktikan kecurigaannya dan mengantarkan si pemerkosa ke hukuman yang
harusnya dia terima?
Baik, saya
berhenti di sini untuk menceritakan kisah apa yang disajikan secara luar biasa
oleh Teater Satu Lampung. Bagi saya, mereka mampu menghadirkan detail-detail
permainan peran yang membawa penonton ke dalam dunia yang, lagi-lagi
menurut saya, tidak lagi membentuk batas antara penonton dan para pemain. Kita,
penonton, sudah masuk ke ruang dimana perasaan, indra, dan memori kita ikut
bermain di atas panggung. Bercengkerama dan ikut terlibat dalam kisah kehidupan
"kecil" dalam waktu kurang lebih 2 jam.
Rasanya, pujian saya tadi sudah mewakili. Cukup sampai di sini untuk keberhasilan Teater Satu Lampung. Sebenarnya, selama dan usai pementasan, ada yang menggantung di ruang pikiran saya. PANGGUNG. Ya, panggung. Ketika pertama kali memasuki dunia teater, selama kurang lebih 8 tahun bergelut di dalamnya, dan ketika sekarang saya lebih menikmati peran saya sebagai penonton, saya masih merasakan sensasi bercampur misteri dari sebuah... PANGGUNG. Orang-orang mencipta kata, menjadi kalimat, menyajikan rasa atau sekelompok orang yang bermain-bermain warna dan cahaya, pada tubuh dan wajah, dan orang-orang yang mencipta bunyi menjadi melodi. Semua orang bergelut dengan hati dan pikirannya untuk mencipta karya, menginjakkan kakinya pada ruang yang disebut panggung, dan mengambil jarak dengan apa yang mereka sebut penonton, hingga mereka menyajikan "buah" dari segala yang telah mereka usahakan.
Si pencipta
ingin karyanya dinikmati dan si penonton berusaha menikmati. Setelah itu? Akan
timbul reaksi dari proses menikmati. Entah itu suka atau tidak suka, memuji
atau malah memaki. Semua bisa terjadi. Panggung akan menjadi wadah dimana
kesedihan bisa muncul beriringan dengan kebahagiaan, atau mungkin, hanya salah
satunya yang muncul. Kemarahan, kerendahaan hati, kesombongan, kelicikan,
cinta, benci, dan semua tetek bengek rasa yang bisa Anda sebutkan, semua bisa
terjadi di atas panggung, atau ketika orang-orang berusaha berada di atasnya,
atau ketika semua sorot lampu, melodi, dan pementasan itu habis dinikmati.
Saya, Anda,
kita mungkin sering mendengar bahwa panggung adalah cermin. Sebuah cermin yang
membentuk ruang. Ruang ini bisa saja sebuah persegi panjang dengan rentetan
titik dan garis yang menjadi tempat kita bergerak. Atau bisa jadi dia adalah
ruang terbuka di sebuah taman atau tanah lapang. Yang jelas, cermin ini membuat
kita melihat atau dilihat. Menikmati atau dinikmati. Memikirkan atau
dipikirkan.
Lebih besar
lagi panggung adalah wadah. Wadah yang menghadirkan cermin kehidupan. Ya, frasa ini seringkali saya dengar. Kita duduk, menjadikan diri kita penonton,
untuk menikmati apa yang tersaji di atas wadah itu. Cerminan apa yang ingin
ditampilkan. Kita melihat, mendengar, dan merasa semua yang ada di atasnya
untuk nanti, pada akhirnya, melihat pantulan dari kehidupan kita sendiri. Untuk
nantinya memancing kita untuk mempertanyakan lagi. Apa yang harus saya perbaiki?
Apa yang harus saya buang? Apakah saya sudah baik?
Bagi saya, atau
mungkin juga bagi Anda. Ada dua pertanyaan besar. Mengapa kita butuh
"PANGGUNG" itu? Dan siapa saya dalam cermin yang dicipta wadah
"PANGGUNG" tadi?
Saya teringat
pada lagu lawas milik "God Bless", "Dunia ini panggung
sandiwara..."
Ya.. Pada
akhirnya kita sampai di sebuah kesimpulan kecil yang entah sampai kapan masih
akan terus berusaha kita pertanyakan kembali.
"Kita
membutuhkan panggung, entah panggung dalam bentuk apapun itu, untuk
mempertanyakan kembali arti keberadaan kita sebagai manusia. Peran apa dan
untuk apa saya bermain di atas "panggung" ini?"
Saya pribadi
pada akhirnya sampai di kalimat ini. "Jiwa dan raga ini sebenarnya
adalah panggung sekaligus cermin untuk diri saya sendiri"
Memang. Itulah
yang menarik dari sebuah pertunjukkan/pementasan. Setelah tirai ditutup,
pementasan belum berakhir. Dia tetap ada. Hanya saja melebur ke dalam bentuk
lain. Bisa pemikiran ataupun sikap yang baru.
Selesai.
Depok, 14 Juli
2013
Okehh... ini udah ketiga kali gue berusaha posting komentar tapi gak ngerti kenapa si blogspot ini refresh2 gak jelas!!! *huuhhh.. but I'll try once again yahh.. kakakku cantik.. >{}<
ReplyDeleteAkhirnya lo nulis lagi!!! yah yang something serius gituh!!
Jika panggung itu wadah dari sejumlah karakter dan kejadian, peran-peran sosial atau identitas manusia sesungguhnya pun adalah wadah. Kayanya analogi gue ini harus dijembatani deh... tapi gini maksudnya: Peran sosial atau identitas itu memberikan manusia kesempatan untuk mengaktualisasikan karakter-karakter yang udah tersimpan dalam genetik manusia. Identitas lo sebagai anak akan membuat lo menunjukan karakter manja dan ingin disayang di depan orang tua lo, tapi beda kan kalo elo jadi ketua dari suatu organisasi. Karna identitas yang kayak gitu ngedorong seseorang untuk memimpin dsb. Ternyata pun, dalam setiap identitas tersebut menghadirkan sederet kejadian-kejadian yang menjadi drama dari kehidupan sendiri.
Jika asumsinya pun demikian, berarti manusia sesungguhnya adalah aktor yang paling pandai bukan?
Dengan mudahnya ia berganti peran dari kekanakan menjadi sosok pemimpin, atau pun dari seorang perempuan yang menjadi manager di kantor kemudian berganti peran menjadi ibu di rumah, dsb.