Panggung dan Renungan Di Atasnya

7/14/2013 01:34:00 AM


Hai, apa kabar? Tampaknya debu sudah menempel lekat padamu, ya? Haha.. Maaf. Rasanya saya harus menyapa dulu blog yang sudah lama tidak disinggahi ini.

Saya kembali terdorong untuk menggerakkan jemari, karena secara sederhana saya ingin kembali menyusun tiap karakter, huruf, untuk akhirnya disusun menjadi ungkapan rasa. Ungkapan pengalaman. Atau.. mungkin saja saya tidak setulus itu. Bisa jadi saya ingin dilihat dan ingin dipuji orang lain atas tulisan saya.

Oke. Mari lanjutkan. Sebelum membuka blog yang hampir usang ini, saya baru selesai menonton pementasan drama realis yang dibawakan secara apik dan mungkin saya harus menambahkan lagi di sini, secara tulus oleh Teater Satu Lampung di Komunitas Salihara, Pasar Minggu. Tulus disini, maksudnya, saya sebagai penonton dan pribadi, merasakan lagi kerinduan akan permainan peran yang tidak "terobsesi" oleh tepuk tangan dan sorotan cahaya pujian yang memabukkan. Saya merasa mereka bermain atas dasar cinta pada kesenian. Lebih khusus lagi, pada apa yang mereka kerjakan.

Malam ini mereka membawakan naskah adaptasi "Maut dan Sang Perawan". Secara garis besar, drama realis ini meyajikan kisah seorang perempuan bernama Paulina, korban pemerkosaan di masa pasca kudeta militer. Memasuki zaman demokrasi, Paulina masih menyimpan trauma berat dari tindak pemerkosaan yang dialaminya. Trauma membuatnya dirundung ketakutan, rasa curiga terhadap tiap orang di sekitarnya, dan bisa jadi, dendam. Bersama suaminya, Gery, yang ditunjuk presiden menjadi pemimpin komisi penyelidikan atas kasus-kasus kejahatan kemanusiaan, penonton diajak untuk menelusuri kesakitan-kesakitan terdalam yang dialami Paulina. Di suatu malam, Gery pulang ke vila peristirahatan mereka bersama seorang dokter bersama Robert Miranda. Hadirnya dr. Miranda, membangkitkan lagi memori Paulina akan segala ketakutan dan kesakitannya dari peristiwa pemerkosaan itu. Paulina yakin betul, walaupun pada saat peristiwa pahit itu dia tidak melihat secara jelas wajah pemerkosanya, dia yakin bahwa dokter inilah yang merenggut keperawanannya.

Sayangnya, Paulina tidak punya bukti kuat untuk menyeret dr. Miranda ke pengadilan. Dalam keadaan depresi, Paulina mendesak dirinya sendiri dan Gery untuk menghukum pria itu atas tindakan bejatnya. Pertanyaan besarnya tentu saja, berhasilkah Paulina membuktikan kecurigaannya dan mengantarkan si pemerkosa ke hukuman yang harusnya dia terima?

Baik, saya berhenti di sini untuk menceritakan kisah apa yang disajikan secara luar biasa oleh Teater Satu Lampung. Bagi saya, mereka mampu menghadirkan detail-detail permainan peran yang membawa penonton ke dalam dunia yang, lagi-lagi menurut saya, tidak lagi membentuk batas antara penonton dan para pemain. Kita, penonton, sudah masuk ke ruang dimana perasaan, indra, dan memori kita ikut bermain di atas panggung. Bercengkerama dan ikut terlibat dalam kisah kehidupan "kecil" dalam waktu kurang lebih 2 jam.


Rasanya, pujian saya tadi sudah mewakili. Cukup sampai di sini untuk keberhasilan Teater Satu Lampung. Sebenarnya, selama dan usai pementasan, ada yang menggantung di ruang pikiran saya. PANGGUNG. Ya, panggung. Ketika pertama kali memasuki dunia teater, selama kurang lebih 8 tahun bergelut di dalamnya, dan ketika sekarang saya lebih menikmati peran saya sebagai penonton, saya masih merasakan sensasi bercampur misteri dari sebuah... PANGGUNG. Orang-orang mencipta kata, menjadi kalimat, menyajikan rasa atau sekelompok orang yang bermain-bermain warna dan cahaya, pada tubuh dan wajah, dan orang-orang yang mencipta bunyi menjadi melodi. Semua orang bergelut dengan hati dan pikirannya untuk mencipta karya, menginjakkan kakinya pada ruang yang disebut panggung, dan mengambil jarak dengan apa yang mereka sebut penonton, hingga mereka menyajikan "buah" dari segala yang telah mereka usahakan.

Si pencipta ingin karyanya dinikmati dan si penonton berusaha menikmati. Setelah itu? Akan timbul reaksi dari proses menikmati. Entah itu suka atau tidak suka, memuji atau malah memaki. Semua bisa terjadi. Panggung akan menjadi wadah dimana kesedihan bisa muncul beriringan dengan kebahagiaan, atau mungkin, hanya salah satunya yang muncul. Kemarahan, kerendahaan hati, kesombongan, kelicikan, cinta, benci, dan semua tetek bengek rasa yang bisa Anda sebutkan, semua bisa terjadi di atas panggung, atau ketika orang-orang berusaha berada di atasnya, atau ketika semua sorot lampu, melodi, dan pementasan itu habis dinikmati.

Saya, Anda, kita mungkin sering mendengar bahwa panggung adalah cermin. Sebuah cermin yang membentuk ruang. Ruang ini bisa saja sebuah persegi panjang dengan rentetan titik dan garis yang menjadi tempat kita bergerak. Atau bisa jadi dia adalah ruang terbuka di sebuah taman atau tanah lapang. Yang jelas, cermin ini membuat kita melihat atau dilihat. Menikmati atau dinikmati. Memikirkan atau dipikirkan.

Lebih besar lagi panggung adalah wadah. Wadah yang menghadirkan cermin kehidupan. Ya, frasa ini seringkali saya dengar. Kita duduk, menjadikan diri kita penonton, untuk menikmati apa yang tersaji di atas wadah itu. Cerminan apa yang ingin ditampilkan. Kita melihat, mendengar, dan merasa semua yang ada di atasnya untuk nanti, pada akhirnya, melihat pantulan dari kehidupan kita sendiri. Untuk nantinya memancing kita untuk mempertanyakan lagi. Apa yang harus saya perbaiki? Apa yang harus saya buang? Apakah saya sudah baik?

Bagi saya, atau mungkin juga bagi Anda. Ada dua pertanyaan besar. Mengapa kita butuh "PANGGUNG" itu? Dan siapa saya dalam cermin yang dicipta wadah "PANGGUNG" tadi?

Saya teringat pada lagu lawas milik "God Bless", "Dunia ini panggung sandiwara..."

Ya.. Pada akhirnya kita sampai di sebuah kesimpulan kecil yang entah sampai kapan masih akan terus berusaha kita pertanyakan kembali.

"Kita membutuhkan panggung, entah panggung dalam bentuk apapun itu, untuk mempertanyakan kembali arti keberadaan kita sebagai manusia. Peran apa dan untuk apa saya bermain di atas "panggung" ini?"

Saya pribadi pada akhirnya sampai di kalimat ini. "Jiwa dan raga ini sebenarnya adalah panggung sekaligus cermin untuk diri saya sendiri"

Memang. Itulah yang menarik dari sebuah pertunjukkan/pementasan. Setelah tirai ditutup, pementasan belum berakhir. Dia tetap ada. Hanya saja melebur ke dalam bentuk lain. Bisa pemikiran ataupun sikap yang baru.


Selesai.

Depok, 14 Juli 2013

1 comment:

  1. Okehh... ini udah ketiga kali gue berusaha posting komentar tapi gak ngerti kenapa si blogspot ini refresh2 gak jelas!!! *huuhhh.. but I'll try once again yahh.. kakakku cantik.. >{}<

    Akhirnya lo nulis lagi!!! yah yang something serius gituh!!

    Jika panggung itu wadah dari sejumlah karakter dan kejadian, peran-peran sosial atau identitas manusia sesungguhnya pun adalah wadah. Kayanya analogi gue ini harus dijembatani deh... tapi gini maksudnya: Peran sosial atau identitas itu memberikan manusia kesempatan untuk mengaktualisasikan karakter-karakter yang udah tersimpan dalam genetik manusia. Identitas lo sebagai anak akan membuat lo menunjukan karakter manja dan ingin disayang di depan orang tua lo, tapi beda kan kalo elo jadi ketua dari suatu organisasi. Karna identitas yang kayak gitu ngedorong seseorang untuk memimpin dsb. Ternyata pun, dalam setiap identitas tersebut menghadirkan sederet kejadian-kejadian yang menjadi drama dari kehidupan sendiri.
    Jika asumsinya pun demikian, berarti manusia sesungguhnya adalah aktor yang paling pandai bukan?
    Dengan mudahnya ia berganti peran dari kekanakan menjadi sosok pemimpin, atau pun dari seorang perempuan yang menjadi manager di kantor kemudian berganti peran menjadi ibu di rumah, dsb.

    ReplyDelete

Zulfasari. Powered by Blogger.