Ide dan Pusaran Angin
Masih lekat di ingatan dan perasaan saya ketika boneka-boneka kantung plastik warna-warni itu menari seakan mereka memiliki jiwa, beterbangan, bergumul bersama pusaran angin. Ya, saya masih ingat. Ajaib. Seakan mereka membentuk dinding angin tak kasat mata dan semua boneka kantung plastik tadi ikut mendorong saya masuk ke dalam ruang penuh udara imaji itu.
Ya, saya memang bukan seseorang yang pintar memberikan deskripsi rinci dari apa yang saya lihat dan rasa. Namun, pementasan sirkus kontemporer bertajuk "Vortex" di malam 21 September lalu itu membuat saya hilang kata. Konyol atau malah suatu hal klise ketika kita bilang, "Benar-benar menakjubkan sampai tidak ada kata yang mampu menggambarkannya". Namun, mau dibilang apa? Itulah yang terjadi pada saya.
Baik, akan saya coba urai apa yang saya ingat pada malam itu. Siapa tahu, saya ingin membuka lagi laci memori ini nanti suatu hari. Seperti biasa, selalu timbul rasa penasaran bercampur kebahagiaan ketika penonton (baca: saya) berjalan masuk ke dalam gedung pertunjukkan. Satu per satu penonton antri, menunggu giliran pemeriksaan tiket, sambil menerka-nerka "kehidupan" apa yang sedang menanti di dalam sana.
Pada malam itu, saya disambut oleh sosok tambun dengan stelan jas lengkap dengan topi fedora, sarung tangan, kacamata hitam, dan sepatu pantoufle-nya. Tidak ada yang bisa melihat jelas wajahnya. Dia hanya duduk di tepi panggung melingkar yang dikelilingi banyak kipas angin. Misterius. Satu per satu penonton bersiap di kursi masing-masing. Sosok tadi tetap di tempatnya seakan tak menghiraukan para penonton. Dia masih khusyuk duduk di sana berteman sebuah kantung plastik merah muda, gunting, dan perekat. Seakan sebuah gerakan meditatif, perlahan dia gunting sisi-sisi kantung tadi dan dengan hati-hati, potongan-potongan itu direkatkan. Masih hening. Hanya sesekali terdengar bunyi putaran kipas. Sesuatu yang lucu namun menyeramkan terlintas dalam benak.
Selesai sudah gerakan meditatif tadi dan dari tangannya, tercipta sebuah boneka kantung plastik. Tiada daya. Hanya kantung. Boneka itu ditaruh di tengah panggung. Masih senyap... Tapi perlahan putaran angin pun terdengar. Angin membangunkannya. Membangunkan nyawa si boneka. Perlahan, saya lihat tangannya terangkat, lalu tak perlu waktu lama saat angin mengisi penuh tubuhnya dan ia pun menari. Terbang riang di atas panggung melingkar tadi.
Layaknya seorang dalang, sosok tambun tadi mengeluarkan banyak boneka plastik lain agar si boneka merah muda tak menari sendiri. Sontak saya terdiam. Ini adalah wujud mimpi. Seiring musik yang mengalun, imaji saya terbawa. Sayang, memang manusia tak boleh terbawa kebahagiaan terlalu lama. Si sosok tambun menyobek semua boneka ciptaannya sendiri.
Selanjutnya, kesedihan, pergolakan, kemarahan, kengerian, ketegangan, dan segala yang bisa Anda sebutkan sebagai gambaran mimpi buruk muncul di panggung melingkar. Si sosok tambun ternyata manusia terbelenggu kekuatan jahat. Berlapis-lapis plastik di tubuhnya dan pusaran angin menjadi gambaran mimpi buruk dan sosok tadi bergulat di dalamnya.
Benar saja. Saya memang belum punya daya untuk menuliskan gambaran rinci tentang "Vortex". Sebaiknya, saya berhenti di sini. Namun, seperti biasa. Selalu ada rasa yang tertinggal setelah pertunjukkan. Jika dalam tulisan sebelumnya saya mencoba bercerita tentang panggung, kali ini saya berpikir tentang ide.
Sirkus identik dengan hal yang ajaib. Masih terbayang mungkin ketika pemain sirkus berjalan di seutas tali yang digantung tinggi menjulang dari permukaan tanah. Atau ketika pemain sirkus bermain-main dengan singa yang melompat melintasi lingkaran api. Tidak mungkin menjadi mungkin. Sederhana menjadi luar biasa. Malam itu, tidak ada singa atau pemain yang berjalan di seutas tali. Hanya ada plastik dan angin. Sederhana, tapi ternyata ketika mereka berpadu, keduanya seakan bernyawa.
Ya, ide. Mungkin tak perlu ambisi mengalahkan atau melenyapkan kelompok manapun atau siapapun. Hanya perlu sedikit waktu untuk melihat ke dalam diri bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini, baik yang telah disediakan oleh alam ataupun hasil karya manusia, memiliki arti keberadaannya masing-masing dan saling terkait.
Entah ide tadi ingin membangun suatu hal yang lebih baik atau malah menghancurkan, semuanya bergantung pada si manusia pemilik ide. Yang jelas, layaknya plastik, angin, dan pemain yang berada di antara keduanya, manusia memang punya dua pilihan. Berpadu bersama idenya mencipta sebuah keajaiban atau malah terbawa arus dan hancur bersama pusaran idenya sendiri.
Selesai.
Jakarta Timur, 27 September 2013
No comments: