Menjejaki Waktu di Kota Penuh Imaji (Ulasan tertulis dan audio tentang Imaginary City karya Rain Chudori)

3/02/2018 06:36:00 PM
Di sebuah kota yang belum berhenti membangun dan tumbuh, tiap orang bersinggungan dalam waktu. Di tengah kota yang menawarkan hiruk pikuk, tersedia ruang bagi penghuninya untuk menjejaki kenangan, menikmati masa kini, dan menerka apa yang akan ditawarkan masa depan.

Imaginary City mengalunkan kisahnya bersama dua tokoh utama yang datang ke berbagai tempat di sudut Jakarta, sembari menelusuri rasa dan kenangan. Kisah diawali di sebuah kamar bercat serba putih dengan beberapa bingkai gambar sebagai penghias serta tumpukan buku bekas dan rekaman Keroncong yang berserak di lantai. Secangkir kopi di samping kuntum bunga juga menjadi teman di dalam kamar tipe studio itu.

Malam sudah mencapai ujungnya ketika perempuan di studio itu bercerita tentang penciptaan sebuah kota kepada seseorang yang dicintainya. Kota yang awalnya diisi dewa dengan pohon-pohon sejuk serta burung-burung, perlahan tumbuh bersama para manusia yang menjejali kota itu dengan rumah dan barisan bangunan sebagai tempat berlindung. Kedamaian akhirnya berselang-seling dengan hingar-bingar, kehancuran, dan perang. Namun, kota tak pernah berhenti bergerak. Manusia tak pernah berhenti memperbaiki dan membangun, walaupun kehancuran lebih banyak tercipta dari tangan mereka. Semua itu ada, karena manusia belum berhenti mencari kebahagiaan dan kesempurnaan.

"...We created and we destroyed, and then we fixed, we healed, we rebuilt. But after a while, a long while, we destroyed more than anything else. The city was in ruins, the trees were ravaged by desire, the monuments were destroyed, the pavements were covered with bodies, the ocean was filled with blood." (p. 6)

"...We didn't understand why we were never fulfilled. And so we destroyed, and we forgot how to fix, how to rebuild, how to heal." (p. 6)

Di tengah legenda kota, perempuan tadi menyimpan harap agar orang yang dicintainya yang berada bersamanya saat itu tetap di sana. Namun, perpisahan mungkin akan jadi jawaban yang tidak bisa dielakkan.

Kisah selanjutnya menarik kita ke awal mula pertemuan dua tokoh utama. Dua karakter yang bertemu pertama kali ketika usia sekitar 15 tahun, dipertemukan kembali di sebuah pesta di rooftop di daerah Kemang, Jakarta. Si perempuan telah menjadi seorang penulis, sedangkan si laki-laki menjadi arsitek di sebuah kota yang berjarak dua jam dari Jakarta. Riuh pesta tidak serta merta menarik keduanya untuk ikut di dalamnya. Setelah menanyakan kabar masing-masing, si lelaki menawarkan teman perempuannya tadi untuk mengantarnya pulang. Malam itu ternyata mengantarkan mereka pada hari-hari berikutnya yang diisi perjalanan ke tempat-tempat lainnya. Sebuah perjalanan yang ditemani pertanyaan-pertanyaan menggantung di benak yang belum semua terjawab, bahkan ketika mereka bertemu kembali di rooftop itu.



****
Imaginary City adalah karya kedua Rain Chudori setelah Monsoon Tiger and Other Stories. Keduanya sama-sama berbahasa Inggris. Namun, jika karya sebelumnya dapat digolongkan sebagai antologi cerpen, Imaginary City adalah sebuah novel. Novel ini sudah menarik perhatian mulai dari gambar sampulnya. Jika para pembaca mengenal atau bahkan akrab dengan sebuah kedai es krim tua bernama Ragusa di sekitar Stasiun Gambir, gambar sampul novel ini akan langsung mengingatkan pada salah satu sudut ruangnya, lengkap dengan semangkuk es krim di atas meja. Tidak sampai di situ. Tulisan "a guide book" di bawah judul Imaginary City seakan memberikan petunjuk bahwa buku ini bisa jadi sebuah buku panduan bagi para pembacanya untuk menelusuri kota dalam imaji Rain Chudori. Ternyata, benar saja. Halaman pembuka sudah menyambut para pembaca untuk berkenalan dengan kota imaji ini. Secuplik sambutan itu berbunyi,

"Dear visitors,

Welcome to the imaginary city. This is a city that has lived through many things: war, colonialism, poverty, corruption, and a constant and powerful yearning for glory. We are accustomed to the daylight realities of the city that are loud, crowded, chaotic, brutal, violent, and -- most importantly -- full of life. Despite this, at the end of the day the sun sets, the city empties out, the lights disappear, the sounds fade out, and the city transforms into the golden era that we all long for."

"...For some of you, this journey may feel familiar, even nostalgic. It is not our intention, dear visitors, to remind you of bygones eras, but to celebrate the ways in which we have lasted..." 

Selanjutnya, keseluruhan kisah Imaginary City akan terbagi berdasarkan tempat-tempat yang dikunjungi oleh dua tokoh utama. Menyenangkan rasanya ketika seorang penulis mengambil latar tempat yang dekat dengan dirinya seperti halnya membaca Haruki Murakami yang menapaki Jepang atau Orhan Pamuk yang mengajak kita berkenalan dengan lika-liku Turki. Tiap tempat yang menjadi latar dalam karya Rain Chudori ini memiliki deskripsi singkat. Lengkap dengan jam buka, foto, serta alamat. Bahkan tersedia satu lembar panduan seperti brosur tentang tempat-tempat yang menjadi latar.


Imaginary City juga menyajikan panduan berisi deskripsi tempat yang menjadi latar kisahnya

Diksi dan rasa yang ingin disampaikan Rain Chudori menghidupkan nyawa tiap tempat yang menjadi latarnya. Berteman dua tokoh utama, kita akan berkunjung ke pantai, museum, dan taman yang mengantarkan nostalgi masa kecil. Kita juga akan menjejaki rasa cinta dan sendu yang mengendap bersama semangkuk es krim dan secangkir kopi. Ruang-ruang kota yang disusun oleh jalan-jalan panjang, hutan beton, dinding-dinding, rangkaian tiang, dan atap seakan tumbuh bersama gerak manusia di dalamnya. Kota dan para penghuninya memang selalu menarik. Entah mana yang berubah, kota atau mungkin kita yang berubah? Seperti sepotong dialog dalam Imaginary City, "Cities don't change, we do."


****
Saya ingin membagi ulasan atau komentar tentang buku tidak hanya dalam bentuk tulisan, tapi juga dalam bentuk audio dan visual (video). Hal ini saya lakukan untuk memperluas jangkauan tentang ulasan buku. Saya ingin teman-teman dengan disabilitas ataupun mereka yang memiliki keterbatasan dalam membaca, tetap dapat menikmati ulasan melalui suara. Begitu juga dengan teman-teman yang memiliki keterbatasan menulis. Mereka masih bisa menikmati dan menyampaikan komentar melalui video. Namun, saat ini saya akan mengawalinya dengan bentuk audio.

Semoga para pengunjung blog ini berkenan dan suka. Semoga hal ini dapat diapresiasi dan menjadi inspirasi. Audioreview perdana ini pasti banyak kekurangannya. Jangan sungkan mengirimkan kritik dan saran pada saya.

Sebagai usaha perdana, berikut ini ulasan tentang Imaginary City dalam bentuk audio. Selamat mendengarkan.... 😄



Music credit: Falling Slowly by Glen Hansard & Marketa Irglova
 

No comments:

Zulfasari. Powered by Blogger.