Sebuah Pertanyaan tentang Diri dan Cinta (Komentar tentang film Les Garçons et Guillaume, à table!)

10/20/2016 04:43:00 PM

Belakangan ini saya cukup sering melirik film-film yang menjadikan tokoh LGBT sebagai protagonis. Sebut saja, Brokeback Mountain (2005), Blue Is the Warmest Color (2013), Les Garçons et Guillaume, à table! (2013), The Danish Girl (2015), Carol (2015), The Handmaiden (2016), atau coba saja menengok sedikit ke belakang seperti film Happy Together (1997) karya Wong Kar Wai.

 Namun, ada satu hal yang selalu saya perhatikan ketika menonton film-film dengan tema LGBT. Saya tidak begitu tertarik ketika masalah yang dihadapi para protagonis masih berkutat dengan bagaimana mereka diterima publik yang heteroseksual. Kenapa? Alasannya sederhana saja, bosan. Saya ingin melihat sisi lain dari para protagonis ini. Saya ingin melihat mereka sebagai pasangan, sebagai manusia yang menelusuri pribadi mereka sendiri, sebagai manusia yang bergelut dengan cinta.

Saya berusaha menyampingkan kontroversi yang sedang terjadi, konsep-konsep liyan, dan diskriminasi. Saya ingin melihat mereka sebagai manusia. Entah nantinya saya simpati atau malah antipati dengan isu-isu LGBT, itu urusan belakangan. Itu saja. Kalau saya boleh memilih, di antara film-film queer yang sudah saya tonton, saya paling menikmati Happy Together (1997), Blue Is the Warmest Color (2013), dan Les Garçons et Guillaume, à table! (2013)

Saya mungkin tidak bisa menyampaikan opini tentang tiga film tersebut di satu halaman blog ini, jadi kali ini saya tulis opini tentang Les Garçons et Guillaume, à table! karya Gillaume Gallienne.


*****
Di sebuah ruang rias, seorang pria duduk memandang dirinya di cermin. Wajahnya dihiasi riasan dan di sekitar pria itu tampak beberapa kartu berisi ucapan penyemangat. Pementasan akan dimulai dalam lima menit. Seketika, dihapusnya riasan tadi dan bersiaplah ia menuju panggung. Dilenyapkannya rasa gugup dan tirai itu pun terbuka. Lampu sorot telah menyala. Hanya ada dirinya di sana. Sebagai pemain tunggal, ia buka pentas itu dengan menyibakkan kipas berwarna keemasan yang sejak tadi digenggamnya. Tiga kali ia memanggil, "Ibu... Ibu... Ibu..."

Panggung lenyap, berganti ruang tidur. Seorang wanita berbaring di atas tempat tidur sambil membaca novel. Anaknya, Guillaume, dengan gembira bercerita bahwa beberapa waktu lalu dia bertemu dengan Anna, perempuan yang pernah disukainya. Setengah hati, Ibu Guillaume bertanya, "Apa kabar dia (laki-laki)?". Kali pertama menyimak percakapan ini mungkin terbersit bahwa ibunya bisa jadi salah dengar sampai mengira Anna adalah seorang laki-laki.

Pemain di panggung tadi adalah Guillaume. Dia sedang memainkan monolog tentang hidupnya. Guillaume adalah salah satu dari tiga anak laki-laki yang lahir dari pasangan kelas menengah atas. Sejak awal, rasanya Guillaume terpisah dari dua saudaranya. "Les Garçons et Guillaume, à table!" (Boys and Guillaume, lunch!), ucapan Sang Ibu yang jadi salah satu dialog juga menjadi judul film ini seakan jadi penanda bahwa Guillaume berbeda, atau malah sengaja dibedakan?

Guillaume tidak atletis seperti dua saudara laki-lakinya. Ketika berlibur ke Spanyol, dia menari Sevillana dengan gemulai layaknya penari perempuan . Dia adalah peniru nomor satu ibunya. Ayahnya, neneknya, sampai asisten rumah tangga pun tertipu dengan suara dan langkah kaki Guillaume yang sungguh mirip ibunya. Tak hanya sampai di situ, Guillaume membayangkan kamarnya seperti ruang kerajaan dan dalam ruang itu dirinya memainkan peran sebagai Sissi, karakter Putri Kerajaan Austria dalam film Sissi - Die junge Kaiserin (1956). Dirinya juga berusaha memantapkan perannya sebagai perempuan dengan mengamati kedua bibinya serta perempuan-perempuan lain yang ditemuinya. Semua pengamatan tadi membuat Guillaume semakin paham apa dan bagaimana perempuan.



Ayah Guillaume menangkap sebuah kejanggalan. Secara tegas ayahnya membujuk Guillaume untuk bergabung dengan klub olahraga, tapi akhirnya ditepis anaknya dengan berkata bahwa dirinya memilih piano. Usaha meluruskan kejanggalan akhirnya berujung memasukkan Guillaume ke sekolah asrama khusus laki-laki. Tak cukup satu asrama, Guillaume dipindahkan dari Prancis ke asrama lain di Inggris. Kali ini, bukan asrama khusus laki-laki. Di sanalah dia bertemu Jeremy. Rasa cinta yang sedang dipupuk Guillaume, ternyata tidak berbuah. Jeremy menyukai seorang murid bernama Liza.

Mendengar kesedihan Guillaume, sang Ibu berusaha menghibur bahwa banyak kaum homoseksual yang bisa bahagia. Penerimaan sang Ibu terhadap orientasi seksual anaknya sontak membuat Guillaume kaget. Secara fisik, Guillaume adalah laki-laki, tapi dirinya yakin bahwa dia adalah anak perempuan Sang Ibu, karena sejak dulu Ibulah yang menganggap Guillaume anak perempuan. Guillaume percaya itu.  Dia bukan homoseksual, karena dia adalah gadis yang menyukai laki-laki. Atau, memang Guillaume adalah laki-laki?

Saya akan berhenti di sini. Kisah masih berlanjut sampai akhir film yang berdurasi 1 jam 25 menit ini. Tadinya saya berpikir bahwa konflik akan terus berkutat seputar perkara homoseksual dan heteroseksual. Namun, saya salah. Paling tidak, saya pribadi punya prasangka yang salah. Sejak adegan awal, film ini sudah menarik perhatian saya, karena tokoh Ibu dan Guillaume dimainkan oleh pemain yang sama yaitu, Guillaume Gallienne. Terlepas dari kekaguman saya terhadap akting Guillaume Gallienne yang luar biasa, saya bertanya, kenapa dua tokoh itu harus dimainkan satu orang ketika para tokoh lain diperankan oleh para pemain yang berbeda? Bahkan, tokoh Ayah yang menurut saya bisa jadi kunci juga dimainkan oleh orang lain. Tidak hanya itu. Saya juga bertanya, kenapa saat Guillaume di Spanyol, gay club, sampai di ruang terapi, bayangan tokoh Ibu selalu menghantuinya di berbagai kesempatan? Ibunya seakan hadir dan berbicara padanya.


Permasalahan homoseksual dan heteroseksual ini akhirnya saya tepis, karena kunci sebenarnya cerita ini bukan di masalah itu, tapi ada di antara hubungan ibu dan Guillaume. Dua tokoh ini terikat. Entah ikatan yang mendamaikan dan mengasihi atau ikatan yang mencekik. Ketika Guillaume menyatakan bahwa dirinya jatuh cinta dan akan menikah dengan seorang perempuan, ketidakyakinan masih menggantung dalam diri sang Ibu.

Belum lagi, ibunya terus mempertanyakan inti cerita yang akan ditulis Guillaume tentang seorang anak yang menerima bahwa dirinya heteroseksual di tengah keluarga yang telah menerima dirinya sebagai homoseksual. "Apa yang membuatmu yakin bahwa anak yang ada dalam ceritamu itu heteroseksual?". Begitu kira-kira bantahan ibunya. Barulah terpikir oleh saya bahwa pusaran masalah ini ada dalam cinta dan ego. Tidak peduli apakah dirimu laki-laki, biarkan kita berdua terus menggangap kau perempuan. Biarlah kita terus berada dalam kepura-puraan. Sang Ibu tidak yakin bahwa nantinya Guillaume masih mencintai dirinya setelah menikah.

Akankah masih kutemui cinta yang sama ketika anakku jatuh cinta pada perempuan lain?

No comments:

Zulfasari. Powered by Blogger.