Berusaha membaca Haruki Murakami
Kali ini saya akan menggambarkan diri saya sebagai penggemar karya-karya Haruki Murakami. Perkenalan saya dengan penulis satu ini dimulai dari seorang teman yang menyodorkan salah satu novelnya, "Norwegian Wood" yang hingga detik ini tidak saya selesaikan. Tinggal beberapa puluh halaman terakhir. Biarkan saja. Namun, saya bisa bilang bahwa film adaptasi novel ini buat saya kesal. Lucu. Saya belum menyelesaikan novelnya, tapi saya bisa berkata bahwa filmnya tidak bagus.
Ah, saya tidak mau berdebat tentang ilmu adaptasi novel ke layar lebar atau sebaliknya.
Ah, saya tidak mau berdebat tentang ilmu adaptasi novel ke layar lebar atau sebaliknya.
Selalu ada hal menarik tiap membaca karya Murakami. Dulu, saya tidak tahu bahwa karyanya telah diakui secara internasional. Terkadang ada (lagi-lagi saya harus sebut ini) hal lucu dari karya dengan titel "internationally best-selling". Internasional? Tapi kenapa saya sering menemui orang-orang yang bingung ketika saya sebut nama Haruki Murakami? Salahkanlah Indonesia dengan budaya membacanya yang rendah.
Tunggu dulu. Kebingungan tidak hanya muncul dari orang-orang sekitar saya, tapi juga saya.
Tunggu dulu. Kebingungan tidak hanya muncul dari orang-orang sekitar saya, tapi juga saya.
Menariknya justru di sini. Beberapa teman dan rekan kerja terkadang melihat saya membawa novel Murakami. Pertanyaan pertama mereka tentu saja, "Ini buku apa? Novel?" Setelah saya jawab "Ya", saya mulai khawatir. Benar saja. Mereka tanya, "Ini novel tentang apa?" Sontak saja saya bingung menjabarkannya, bahkan sinopsis singkat saja tidak terlintas. Salahkan saja saya. Mungkin saya harus membuang jati diri sebagai penggemar beratnya.
Alhasil, saya cuma dapat tersenyum simpul, menyerahkan novel itu pada mereka sembari berkata, " Lihat saja". Reaksi berikutnya tentu bisa ditebak lagi. "Ah, nggak ngerti. Novel berat. Mikir". Lalu, saya hanya bisa tertawa kecil.
Alhasil, saya cuma dapat tersenyum simpul, menyerahkan novel itu pada mereka sembari berkata, " Lihat saja". Reaksi berikutnya tentu bisa ditebak lagi. "Ah, nggak ngerti. Novel berat. Mikir". Lalu, saya hanya bisa tertawa kecil.
Ini terjadi saat saya membaca "1Q84". Tidak berhenti hanya di novel itu, ini sering terjadi ketika orang-orang sekitar melihat saya membaca beberapa novel lain. Hilang kata.
Ya, hilang kata. Ini masalah saya. Saya tidak pernah bisa menjabarkan cerita Murakami. Novel-novelnya jarang atau bahkan tidak ada yang bisa disebut pop. Saya sering merasa bahwa rangkaian cerita dan para tokoh yang bergulat di dalamnya sangat "gelap". Perjuangan akan kebahagiaan, atau pencarian makna kebahagiaan, sering saya rasakan ketika membaca karyanya. Yang paling "gelap" adalah ketika "kekosongan" muncul juga dalam ceritanya.
Seringnya Murakami mengambil tokoh anak muda, kehidupan urban, dengan segala pertanyaan kehidupan yang bergelayut di tokoh muda tadi. Tokoh-tokoh Murakami tidak pernah secara utuh mengenal masa lalu mereka. Saya persempit lagi masa lalu ini sebagai keluarga. Tidak utuh. Para tokoh seringnya tidak mengenal salah satu orang tua mereka. Seringnya mereka hanya samar-samar mengetahui salah satu orang tua mereka. Menghilang atau meninggal dengan sebab yang tidak begitu jelas. Sayangnya, informasi samar ini mereka dapat dari orang tua mereka yang lain. Saya persingkat jabaran membingungkan ini dengan kalimat, "Relasi keluarga digambarkan asing"
Kucing yang berbicara bahasa manusia, dua rembulan, gadis yang hilang tanpa meninggalkan satupun jejak, atau teman yang bunuh diri dengan mengurung diri dalam mobil dan menghirup gas. Sampai detik ini saya masih dan akan terus mencari maknanya.
Kembali ke permasalahan awal. Mungkin memang sulit menjabarkan sinopsis karya-karya Murakami, paling tidak bagi saya. Saya mungkin akan terus menemui orang - orang kebingungan dengan jabaran cerita Murakami versi saya. Biarlah. Namun, satu hal yang membuat saya tidak peduli dengan kerutan dahi orang-orang tadi. ketika membaca satu karyanya, saya langsung masuk ke tiap hamparan imaji kata-katanya.
Saya akhiri saja rentetan kata ini yang makin membuat saya dan mungkin Anda bingung.
Sekian.
Jakarta Timur, 16 November 2013
Gw sedikit malas menulis ulang pembicaraan2 kita tentang Murakami dalam kolom komen ini. Hampir di setiap pertemuan juga kita membahasnya. Mungkin gw ingin berkomentar tentang penulisan lo. Gw gak pandai berkomentar secara sastrawinya. Sering kali, Gw ngebaca sesuatu itu hanya berdasarkan apakah alur tulisan itu bisa membuat gue sampai ke titik paling akhir. Tulisan ini sudah mengantarkan gue ke sana. Dari dua tulisan yang gue baca pun, karakternya elo banget, so obvious..
ReplyDeleteTerkadang (mungkin mostl yah) gue menemukan rasa pertentangan lo terhadap dunia dalam jalinan kata-kata ini.